Kamis, 15 September 2011

98 PERSEN ANGGARAN TAHUN 2011 SIAP DISERAP KKP

Pemerintah masih berusaha untuk mewujudkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri KP) seperti Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) serta Pengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Program tersebut menjadi prioritas KKP dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Program pemerintah tersebut nantinya akan didukung dengan suntikan dana 8 triliun. 

Komisi IV DPR RI memberikan apresiasi atas serapan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2011 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berupa tambahan anggaran sebesar Rp. 647,954 miliar dari total pagu KKP Rp. 4,91 triliun hingga bulan Agustus sudah terserap 36,07 persen dan ditargetkan pada akhir September mencapai 60 persen. Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, usai Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI hari Selasa (13/9) di Jakarta mengatakan bahwa KKP hingga akhir tahun 2011 penyerapan mencapai 98 persen dari alokasi anggaran tahun 2011 atau sekitar Rp 4,81 triliun.
Komisi IV DPR RI mendukung peningkatan program pro-rakyat (klaster 4) KKP, dalam rangka peningkatan kehidupan nelayan. Menurut Fadel, dalam rapat kerja tersebut Komisi IV DPR RI juga menerima usulan rencana pengajuan Rancangan APBN KKP tahun 2012 untuk program pembangunan kelautan dan perikanan yang bersumber dari APBN maupun pinjaman dan hibah luar negeri. Dalam usulan RAPBN yang akan akan ditindaklanjuti pembahasannya dalam Rapat Kerja maupun Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, KKP pada tahun 2012 mengajukan penambahan anggaran lebih dari Rp. 3 triliun dibandingkan anggaran tahun 2011 yang hanya sebesar Rp. 4,91 triliun. Pagu anggaran KKP tahun 2012 meningkat 19,5 persen dibanding dengan alokasi anggaran tahun 2011. Kegiatan KKP yang mendukung secara langsung prioritas nasional sebesar Rp. 4,51 triliun atau 76,83 persen dari total pagu anggaran KKP 2012.

Selain PUMP dan PUGAR, rencana kerja KKP tahun 2012 juga akan difokuskan pada peningkatan kesejahteraan nelayan seperti penyediaan kapal penangkap ikan beserta alat bantu penangkapan, fasilitas permodalan, Sertifikasi Hak Atas Tanah (SEHAT), Gerakan Sejuta Hektar Minapadi (GENTANADI), asuransi nelayan, dan pembangunan rumah nelayan ramah bencana. Selain itu peningkatan kesejahteraan nelayan juga akan dilaksanakan melalui penyediaan sarana sistem rantai dingin, pengelolaan dan pemasaran hasil perikanan, penyediaan induk unggul, serta pembinaan Usaha Menengah Kecil (UMK) Perikanan.

Sumber: Siaran Pers KKP No. B.111/PDSI/HM.310/IX/2011

Senin, 27 Juni 2011

Liberalisasi Perikanan dan Nasib Nelayan

Laporan terbaru FAO (2010) menempatkan Indonesia sebagai negara produsen perikanan ketiga terbesar di dunia dengan nilai produksi 5,384 juta ton. Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa China menjadi produsen teratas (14,8 juta ton), disusul Peru (7,4 juta ton).

Senada dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga menunjukkan adanya kenaikan nilai produksi dari tahun sebelumnya, yakni sebesar Rp61,24 triliun (2010) dari Rp53,93 triliun (2009) atau naik sebesar 13,56 persen. Dalam perspektif dagang, kenaikan nilai produksi ini mestinya berimbas pada pemerataan distribusi pundi-pundi kesejahteraan nelayan. Apalagi, 75 persen kebutuhan protein nasional yang tersaji di meja-meja makan keluarga Indonesia disediakan oleh nelayan tradisional (Kiara, 2010).

Pertanyaannya, apa kendala utama tersumbatnya pipa kesejahteraan nelayan tersebut? Penulis menengarai adanya singgungan faktor domestik (peran negara dan daya saing nelayan) dengan faktor nondomestik (pusaran perdagangan bebas) yang berakibat pada rapuhnya tangga kesejahteraan nelayan.

Tanpa Negara
Di Indonesia, jumlah nelayan tangkap mencapai 2,75 juta jiwa (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2009). Dari jumlah itu, lebih dari 95 persen adalah nelayan tradisional. Lazimnya pelaku ekonomi tradisional, alat tangkap, dan modal produksi yang dipergunakan masih dalam koridor sederhana/terbatas. Dalam keterbatasan itulah mereka bertarung dengan gelombang di lautan tanpa perlindungan maksimal dari negara. Kiara mencatat sebanyak 33 jiwa nelayan meninggal dunia di laut akibat cuaca ekstrem di sepanjang Januari_April 2011. Banyaknya korban jiwa ini adalah buntut dari minusnya representasi negara.

Dalam ketiadaan pilihan, negara membiarkan nelayan mempertaruhkan jiwanya. Pada level inilah negara harus mengejawantahkan kehadirannya di 10.666 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total sekira 524 kabupaten/kota se-Indonesia. Melihat situasi perikanan nasional saat ini, peran negara justru dipinggirkan oleh korporasi multinasional.

Hal ini ditandai dengan beberapa indikator. Pertama, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa selama triwulan I/2011, total investasi di sektor perikanan mencapai USD1,2 juta atau sekitar Rp10,28 miliar dan seluruhnya merupakan investasi asing. Kedua, data Badan Pusat Statistik (2011) menunjukkan nilai impor ikan dan produk perikanan pada Januari-Februari 2011 sebesar USD71,12 juta atau melonjak dibandingkan periode yang sama di 2010 sebesar USD32,23 juta. Negara justru berperan aktif melemahkan daya saing nelayan, yakni dengan mengabaikan amanah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Pada pasal 48 ayat (2), misalnya, terang disebut bahwa pungutan perikanan tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil. Namun ada beberapa daerah yang mengabaikannya. Misalnya yang dilakukan Kabupaten Kendal dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Retribusi TPI di Kabupaten Kendal.

Senada dengan itu, pasal 25B ayat (2) juga mewajibkan kepada pemerintah untuk mengutamakan kepentingan produksi dan pasokan di dalam negeri demi kebutuhan konsumsi nasional sebelum dipasarkan ke luar negeri. Ironisnya, ekspor digenjot secara besar-besaran, tetapi di saat bersamaan produk perikanan impor juga membanjiri pasar-pasar di dalam negeri dengan harga yang teramat murah. Negara pun berlagak merespons. Inilah zaman perdagangan bebas.

Kuasa Individu
Perdagangan bebas menuntut agar negara-negara membuka pasar mereka selebar-lebarnya untuk terjadinya perdagangan (Wibowo, 2010). Untuk mewujudkannya, negara tak lagi maju "mengatur", melainkan secara bertahap mundur teratur.
Dalam bahasa neoliberalisme, "The state must therefore use its monopoly of the means of violence to preserve the individual rights to freedom of action, expression, and choice at all costs" (Harvey, 2005). Atau dalam perkataan lain, negara cukup berperan sebagai "penjaga malam" untuk mengamankan aset-aset individual.

Kuasa individu inilah yang memaksa negara, dengan mengatasnamakan kebijakan publik, membuka partisipasi seluas-luasnya individu dalam kegiatan ekonomi yang mengatur hajat hidup banyak orang. Tak mengherankan jika asing telah menguasai permodalan kegiatan perikanan nasional. Pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas ASEANChina (ACFTA) sejak 1 Januari 2010 lalu membuktikan bahwa republik bahari pun tak sanggup menahan serbuan produk-produk perikanan China. Sungguh ironis. Hal ini berimbas pada kian sulitnya nelayan mendapatkan penghidupan yang layak.

Di Pasar Kramat Djati, Jakarta, misalnya, ditemui harga ikan kembung impor dari China berkisar Rp5.000/kg, sedangkan ikan kembung lokal dihargai Rp20.000/kg. Sementara itu, harga lele asal Malaysia hanya Rp8.000-15.000/kg, sedangkan harga lele asal Kalimantan Barat senilai Rp20.000-25.000/kg. Berkaca pada fakta ini, mustahil nelayan tradisional bisa berkompetisi. Terlebih sudah terlampau lama negara absen. Karut-marut pengelolaan perekonomian nasional ini harus dikoreksi.
Ketukan palu Mahkamah Konstitusi yang membatalkan seluruh pasal terkait hak pengusahaan perairan pesisir sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kamis (16/6), dapat menjadi awalnya. Kewarasan publik harus dijaga dan dibangunkan untuk memperkuat peran negara dan daya saing nelayan. Sikap ini pula yang dipilih Bung Hatta.

Saat tak lagi menjabat sebagai wakil presiden, Bung Hatta tetap memikirkan nasib rakyatnya. Meski mengaku sukar, ia memberikan pengertian tentang kesejahteraan, "Pada dasarnya ... (berupa) perasaan hidup yang setingkat lebih tinggi dari kebahagiaan.... Apabilaia merasa senang, tidak kurang suatu apa dalam batas yang mungkin dicapainya. Jiwanya tenteram, lahir dan batin terpelihara. Ia merasakan keadilan dalam hidupnya,tidak ada yang patut menimbulkan iri hatinya dan tidak ada gangguan dari sekitarnya. Ia terlepas dari kemiskinan yang mengancam."

By ade.lestarini, okezone.com, Updated: 6/25/2011 11:42 AM

http://news.id.msn.com/okezone/business/article.aspx?cp-documentid=4969642

Senin, 30 Mei 2011

Harga Tuna Menyusut, Ratusan Nelayan tak Melaut

JAKARTA. Berita kurang sedap bagi penangkap ikan tuna. Pada awal bulan Mei ini, harga ikan tuna di pasar Jepang terus merosot.

Data Asosiasi Pengusaha Kapal Pengangkut Ikan Indonesia (APKPII) menunjukkan, harga tuna hanya ¥ 400 per kilogram (kg). Padahal, harga normal tuna di sana berkisar di angka ¥ 900-¥ 1.000 per kg (kurs ¥ 1= Rp 105). Ang Sakiman, Ketua Umum APKPII mengatakan, penurunan ini merupakan imbas dari bencana gempa dan tsunami yang melanda Jepang pada awal Maret 2011. Selepas bencana tersebut, masyarakat Jepang dicemaskan paparan radiasi nuklir akibat rusaknya reaktor nuklir yang berada di Prefektur Fukushima. Masyarakat Jepang khawatir air dan produk-produk perikanan termasuk tuna ikut terpapar radiasi nuklir. Akibatnya, permintaan dan konsumsi tuna masyarakat Jepang menurun drastis. “Mereka enggan mengkonsumsi tuna,” jelasnya Ang kepada KONTAN, Minggu (1/5).

Dwi Agus Siswa Putra, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) menambahkan, anjloknya harga ini juga karena ada penurunan daya beli masyarakat Jepang setelah dihantam bencana besar tersebut. Bencana itu telah merenggut harta benda ratusan ribu warga masyarakat Jepang. Akibatnya, hingga kini, kemampuan finansial banyak keluarga di Jepang belum pulih benar. Padahal, tuna juga merupakan salah satu makanan yang tinggi. “Mereka menghentikan dulu konsumsi tuna,” kata Dwi.
Victor Nikijuluw, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan, penurunan tersebut tentu saja wajar terjadi mengingat Jepang masih dalam tahap pemulihan setelah dihantam gempa dan tsunami. Apalagi, korban bencana ini juga sangat besar, mencapai sekitar 300.000 orang. “Jumlah konsumennya turun, otomatis harga turun,” ujar Victor. Dampak dari penurunan harga tersebut tentu saja sangat serius bagi industri penangkapan ikan tuna di Indonesia. Soalnya, biaya penangkapan tuna sangat tinggi, terutama biaya pembelian bahan bakar solar.

Ang menjelaskan, harga solar sekarang sudah menyentuh Rp 9.950-Rp 10.000 per liter dari tadinya sekitar Rp 4.500-Rp 5.000 per liter. Pemerintah hanya memberi solar bersubsidi sebanyak 75 kiloliter (kl) per satu unit kapal yang pengambilannya dicicil yaitu sebanyak 25 kl per bulan selama tiga bulan. Padahal, waktu beroperasi kapal tuna bisa mencapai lima-tujuh bulan dan menghabiskan solar sekitar 100 ton. Maka, kini banyak pengusaha kapal nelayan yang tadinya menangkap ikan tuna mulai beralih menangkap tongkol, cumi-cumi, dan cakalang. Apalagi, waktu melaut untuk menangkap ikan-ikan tersebut relatif lebih cepat, yaitu sekitar dua bulan dan menghabiskan solar sekitar 30 ton saja. Tentu saja, ini jelas lebih ringan bila dibanding dengan penangkapan tuna. “Daripada tetap menangkap tuna tetapi terus merugi, lebih baik menangkap ikan lain,” kata Ang.

Edi Yuwono, Ketua Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), membenarkan adanya problem tersebut. Menurutnya, beban bahan bakar yang mesti dikeluarkan pengusaha kapal memang besar. “Akibatnya biaya penangkapan semakin tinggi dan memberatkan pengusaha,” ujar Edi. Ia berharap, pemerintah bisa lebih bijak terutama dalam pemberian subsidi solar bagi nelayan. Pemerintah sebaiknya memberikan subsidi solar yang sebanyak 75 kl itu sekaligus di muka, bukan dicicil per bulan.

Pasar potensial lain

Penurunan harga tuna di Jepang telah berdampak buruk terhadap aktivitas kapal penangkap tuna di Indonesia. Ang menjelaskan, saat ini, sekitar 800 unit kapal penangkap tuna yang biasanya mangkal di pelabuhan Muara Baru, Jakarta Utara, berhenti menangkap tuna. Para nelayan di sama merasa aktivitas menangkap tuna sudah tidak menguntungkan lagi. Sekali lagi, pendapatannya lebih rendah ketimbang biaya penangkapan tuna.

Meski kondisi Jepang masih buruk, Victor bilang, Indonesia belum memiliki rencana untuk mengalihkan pasar tuna ke negara lain. Menurutnya, Jepang sudah telanjur menjadi pasar utama ikan tuna segar dari Indonesia. Lagi pula, Jepang merupakan negara konsumen ikan tuna segara terbesar di dunia.

Meskipun demikian, upaya untuk terus mengembangkan pasar tuna tetap ada. Misalnya saja, kata Victor, Indonesia sedang menjajaki pasar-pasar potensial seperti Korea Selatan, Taiwan dan Cina. Pemerintah sedang menelaah kondisi makro maupun mikro di negara-negara tersebut. “Saat ini tuna masih difokuskan ke Jepang,” tuturnya. Victor sendiri memprediksi penurunan harga tuna di Jepang tersebut hanya bersifat sementara. Ia memperkirakan, dalam tiga bulan ke depan akan berangsur normal. Tentu saja, bila proses recovery pasca gempa berjalan cepat dan mulus.

Source: kontan online

Selasa, 19 April 2011

Reklamasi Ancam Hidup Nelayan

Jakarta, Kompas - Reklamasi pantai utara Jakarta menjadi ancaman bagi lingkungan hidup dan kehidupan 7.000 nelayan tradisional. Proyek pembangunan itu harus ditinjau ulang dan dilakukan analisis dampak lingkungan yang baru jika pemerintah berniat melindungi warganya.

”Sebelum ada keputusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA), reklamasi sudah berlangsung dan berdampak buruk bagi nelayan, apalagi nanti setelah putusan dilaksanakan,” kata Tiharom, Ketua Forum Komunikasi Nelayan Jakarta, Selasa (5/4). Menurut dia, reklamasi di Marunda, Jakarta Utara, 2007-2008, merusak area penangkapan ikan yang menjadi sandaran hidup 2.000 nelayan. Nelayan kehilangan akses ke laut.

Tiharom mengatakan, pengabulan PK yang memenangkan perusahaan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat luas, khususnya nelayan tradisional. ”Jika reklamasi diteruskan, hal itu akan mendorong pemiskinan terhadap masyarakat,” katanya.

Jumi Rahayu, Manajer Advokasi Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), mengatakan, sebagai salah satu pihak yang beperkara, Walhi belum mendapatkan salinan putusan PK dari MA.

Karena itu, Walhi mengirim surat ke MA untuk meminta agar keputusan PK disampaikan secara transparan. ”Kami masih dalam pendirian, reklamasi berbahaya bagi lingkungan, antara lain bisa meningkatkan potensi bencana, rob, banjir, hingga amblesnya jalan arteri (Martadinata),” katanya. Selain itu, reklamasi bisa berdampak terhadap kehidupan masyarakat, khususnya nelayan di sekitar pantai utara Jakarta. ”Reklamasi ini hanya menguntungkan sedikit kalangan swasta. Tidak ada kepentingan bagi masyarakat miskin dan nelayan,” kata Jumi Rahayu. Walhi akan mencari novum atau alat bukti baru untuk membuka kembali perkara ini.

Sementara itu, saat konferensi pers Rapat Koordinasi Nasional Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di Jakarta, Menteri LH Gusti Muhammad Hatta mengatakan belum menerima amar putusan MA itu. Karena itu, ia belum dapat menyebutkan langkah-langkah yang akan dilakukan Kementerian LH.

Amdal kedaluwarsa

Deputi Bidang Tata Lingkungan KLH, Imam Hendargo Abu Ismoyo, mengatakan, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) reklamasi pantai utara Jakarta yang disusun tahun 2003 telah kedaluwarsa.

Imam meminta warga dan LSM tidak khawatir terhadap dampak putusan MA itu. Ia menjelaskan, Pemprov DKI, Pemda Tangerang, dan Pemda Bekasi telah menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang melibatkan para ahli lingkungan. Kini sedang digarap Rancangan Tata Ruang Wilayah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Selain itu terdapat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/2008 yang mengatur pemerintah daerah wajib meminta izin Mendagri saat melakukan reklamasi pantai.

Selanjutnya, Imam menyatakan, penyelenggara proyek harus memenuhi dan menyesuaikan dengan mekanisme ini. Terakhir, penyelenggara proyek harus memiliki dokumen Amdal. Dokumen Amdal ini dinilai tim dari Kementerian LH yang melibatkan partisipasi warga setempat.
Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/2011/04/06/03315425/reklamasi.ancam.hidup.nelayan

Jumat, 01 April 2011

SHT Sebagai Implementasi Mengurangi IUU Fishing

Rusaknya laut di sebagian besar wilayah Indonesia menjadi keprihatinan nasional yang perlu segera dituntaskan atau minimal ada semacam usaha untuk meminimalisir kerusakan laut dan ekosistemnya. Pasalnya kerusakan laut ini memiliki dampak bagi kelangsungan hidup nelayan tradisional yang serta merta menggantungkan hidupnya kepada laut. Apa jadinya jika laut tak lagi memberikan hasil bagi nelayan? Tentunya semakin sulit nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sekali lagi, kerusakan alam (laut) memberikan daftar panjang kemiskinan bagi nelayan dan masyarakat pesisir bawah.

Adanya perubahan kondisi sumber daya perikanan terkait dengan maraknya praktik penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab atau dalam dunia internasional sering disebut Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU-Fishing). Banyak kerugian akibat praktik IUU Fishing ini, baik secara ekonomi maupun sosial. Dari fakta tersebut pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berinisiatif untuk mengadopsi program SHT (Sertifikasi Hasil Tangkapan) seperti yang diberlakukan oleh Uni Eropa terkait dengan praktik pencurian ikan. Sementara itu SHT mulai dilaksanakan per 1 Januari 2010, dengan sebelumnya KKP akan melakukan sosialisasi kepada seluruh stakeholder perikanan seperti, pengusaha kapal, pelaku bisnis sektoral maupun eksporter. Bahwa dengan tegas KKP bekerjasama dengan pihak berwajib akan menindak para pelaku IUU Fishing, terlebih lagi ikan hasil IUU-Fishing tidak akan dapat diekspor di pasar Uni Eropa, karena dengan tegas UE menolak setiap jenis ikan yang didapat dengan cara IUU-Fishing.

Setelah SHT diluncurkan oleh pemerintah, masih ditemui kendala yang menjadi penghambat dalam proses pelaksanaan SHT ini. Dalam praktiknya SHT masih begitu sulit dan terlalu rumit bagi pelaku perikanan tangkap di Indonesia. Maka Menteri Kalautan dan perikanan, Fadel Muhammad meluncurkan pelayanan keliling sertifikasi kepelautan perikanan dan sistem otomasi penerbitan sertifikat hasil tangkapan ikan, melalui pelayanan pengurusan sertifikasi keliling, diharapkan dapat meringankan dan mempermudah para nelayan yang memerlukan peningkatan (upgrading) seritifikat kepelautan perikanannya. Dengan kata lain, upaya ini dapat membantu nelayan terhindar dari penangkapan oleh aparat pengawas saat melakukan operasi penangkapan ikan di laut. Menurut Fadel, banyaknya regulasi atau peraturan perundangan-undangan acapkali dianggap menjadi beban masyarakat karena diinterpretasikan secara berbeda oleh berbagai instansi yang menegakkan hukum di laut.


Selain memberikan pelayanan sertifikasi kepelautan perikanan, pelayanan keliling ini juga meliputi penerbitan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) yang dibutuhkan bagi semua produk perikanan hasil tangkapan ikan di laut dari kapal-kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang akan diekspor ke negara-negara Uni Eropa. Penerbitan SHTI bertujuan untuk menjamin produk hasil tangkapan ikan Indonesia bebas dari kegiatan Illegal Unreported Unregulated (IUU) fishing. Sampai saat ini pelabuhan perikanan yang telah aktif memberikan pelayanan penerbitan SHTI sebanyak 18 Pelabuhan Perikanan termasuk PPN Sibolga. Adanya sistem otomasi SHTI akan semakin mempercepat penerbitannya. Penerapan SHTI tidak diwajikan untuk kapal kecil dengan kategori: berukuran maksimal 12 meter tanpa mesin penarik jaring atau berukuran maksimal 8 meter dengan mesin penarik jaring atau kapal berukuran kecil sama dengan 20 GT. Namun demikian, Unit Pengolah Ikan (UPI) berkewajiban mengajukan sertifikasi dengan memberikan keterangan atas kapal-kapal yang mensuplay hasil tangkapannya.

Dengan SHT semoga dapat mengurangi pencurian ikan serta meminimalisir kerusakan laut akibat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan pedoman perlindungan lingkungan. Disamping itu dengan adanya SHT tetap akan melindungi komoditi perikanan Indonesia di pasar Internasional terutama UE. Perlu disadari bahwa kekayaan laut dan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia penting untuk selalu dijaga dan dilestariakan demi keberlanjutan lingkungan dan masyarakat, terutama bagi nelayan.

Ikan Beku Impor dari Perairan RI

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kelautan dan Perikanan mensinyalir sejumlah ikan beku impor yang masuk ke Indonesia berasal dari perairan Indonesia. Ikan itu dimanipulasi seolah-olah merupakan produk dari negara pengirim.

“Modus itu terjadi sudah agak lama, dengan memanfaatkan era pasar bebas,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, di Jakarta, Senin (21/3/2011).

Hingga Senin sore, pihaknya menahan sekitar 5.300 ton ikan beku impor di sejumlah pintu masuk pelabuhan dan Bandar udara karena dinilai tidak memiliki izin impor hasil perikanan.

Penahanan itu tersebar di Pelabuhan Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Perak di Surabaya, Tanjung Mas di Semarang, dan di Bandar Udara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten.

Pihaknya memberikan waktu satu minggu kepada para importir untuk mengurus proses pemulangan (re-ekspor) ikan impor tersebut ke negara asal.

Kepala Bidang Penyidikan dan Penindakan Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Bonar Lumban Raja, mengemukakan, jumlah ikan impor yang masuk lewat pelabuhan itu setiap tahun mencapai 100.000 ton. Adapun sebagian besar ikan impor itu berasal dari China.

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/22/10293120/Ikan.Beku.Impor.dari.Perairan.RI

Jumat, 25 Maret 2011

Pemberdayaan Masyarakat : Ruang Lingkup Pembangunan dan Kemiskinan


Sering kita mendengar istilah pemberdayaan masyarakat serta praktiknya yang banyak berorientasi di pedesaan, pesisir ataupun daerah yang jauh dari akses teknologi dan informasi. Namun pertanyaan yang muncul adalah mengapa pemberdayaan masyarakat tersebut banyak dipraktikkan di daerah pinggir? Konteks Kemiskinan dan pembangunan menjadi latar belakang pemberdayaan masyarakat dilaksanakan, dan di daerah inilah (pinggir) sering dijumpai tentang cerita kemiskinan dan program pembangunan. Entah pembangunan yang menyebabkan kemiskinan atau miskinnya masyarakat akibat kurang meratanya pembangunan. Secara structural kedua konteks tersebut dapat saling berkesinambungan. 

Kemiskinan
Kemiskinan dapat dicermati dari ketidakmampuan sebuah kelompok masyarakat/keluarga memenuhi kebutuhan dasar. Kemudian kemiskinan lebih ditafsirkan sebagai suatu kondisi ketiadaan akses kelompok masyarakat tertentu pada pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya melekat di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lingkungan hidup.
Dok. Nanang Ch/2009

Konsep kemiskinan sangat dekat dengan istilah impoverishment (hal-hal yang menyebabkan seseorang atau sesuatu menjadi lebih miskin). Proses impoverisment merupakan sebuah proses aktif menghilangkan akses dan hak-hak dasar yang secara sistematik direproduksi dan diciptakan oleh sejumlah mekanisme global seperti kerusakan lingkungan hidup, kehancuran sumberdaya rakyat, inflasi, pengangguran dan politik utang luar negeri. Proses inilah yang kemudian dikenal sebagai proses pelemahan (disempowerment) ekonomi, ekologi, sosial, politik dan budaya khususnya bagi kelompok masyarakat minoritas dan marginal. Sebagai ilustrasi pola kehidupan nelayan tradisional yang semakin terpinggirkan ketika kerusakaan alam (laut) semakin merajalela maupun hancurnya sumberdaya rakyat akibat kurangnya tata kelola pembangunan. Hilangnya akses terhadap laut bagi nelayan tradisional semakin memperparah kesejahteraan kehidupan mereka.

Pembangunan
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang terencana terhadap kondisi sosial budaya dan lingkungan. Pembangunan diterapkan guna menjangkau keseimbangan pengetahuan dari seluruh anggota masyarakat yang hidup dalam suatu lingkungan hidup yang sama.

Perbedaan pemahaman terhadap lingkungan pada dasarnya disebabkan adanya perbedaan kebudayaan dan peradaban yang ada di masyarakat. Pada masyarakat yang memiliki peradaban lebih tinggi, kemungkinan akan mendominasi terhadap masyarakat lainnya termasuk pendominasian terhadap pengelolaan lingkungan yang dapat berakibat pada termarjinalisasinya kelompok-kelompok manusia lainnya dengan peradaban yang berbeda. Untuk itu, pembangunan diarahkan pada segi kemanusiaan itu sendiri sebagai salah satu model pembangunan yang berkelanjutan yaitu keberlanjutan pada kualitas manusia (human sustainability). Peningkatan kualitas hidup manusia merupakan suatu rangkaian proses pembangunan dalam rangka keseimbangan antar anggota masyarakat itu sendiri dalam memandang lingkungan hidupnya sebagai wadah dalam kehidupan bermasyarakat secara lebih luas.

Namun apakah dengan pembangunan, semata mata dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat atau justru malah sebaliknya dengan pembangunan mempercepat dan memperluas kemiskinan? Karena dirasa pembangunan global maupun regional memiliki dampak sistemik masing masing terhadap masyarakatnya.

Pemberdayaan
Konsep “pemberdayaan” (empowerment) telah mengubah konsep pembangunan dan sekaligus      strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di pedesaan maupun di pesisir. Perubahan ini sering disebut sebagai perubahan paradigma atau serangkaian perubahan mulai dari tataran konsep, teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran pelaksanaannya. Pemberdayaan menjadi konsep kunci untuk menanggapi kegagalan pelaksanaan pembangunan yang selama ini masih belum dapat dirasakan secara menyeluruh oleh masyarakat pada umumnya.

Pemberdayaan dalam kaitannya dengan pembangunan dan pengentasan kemiskinan sering dikaitkan dengan beberapa hal berikut:
  • Tata relasi kekuasaan yang demokratik, transparan dan diakui publik (good governance).
  • Transformasi ekonomi menjadi komunitas yang mandiri, berbasis pada sumberdaya lokal, dan penguatan sumberdaya manusia.
  • Partisipasi penuh atau sebuah proses yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat    (tanpa terkecuali) dalam pengembangan agenda komunitas.
  • Sebuah proses yang memungkinkan pengambilan keputusan kolektif dan dilanjutkan dengan tindakan kolektif

Dalam pengertian global tentang pemberdayaan komunitas, yang berarti adanya penguatan makna dan realitas (seperti bagaimana melibatkan para pihak yang relevan dalam suatu proses), transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (yang memberikan legitimasi pada setiap proses pengambilan keputusan). Pemikiran pembangunan alternative menekankan pada transformasi politik, ekonomi, lingkungan hidup, kelembagaan sosial serta nilai-nilai komunitas melalui pemberdayaan. Pembangunan yang bertumpu pada komunitas hendaknya berakar pada prinsip-prinsip berikut:

  1. Kedaulatan, kebebasan dan demokrasi melalui partisipasi politik yang luas
  2. Secara mandiri komunitas lokal mengontrol sumberdayanya dan berhak atas akses informasi
  3. Membangun suatu sistem nilai yang konsisten sesuai dengan perikehidupan komunitas dan hubungan mereka dengan alam dan sumberdayanya.
  4. Membangun semangat gotong royong di antara anggota komunitas untuk membangun masa depan bersama.
Dok. Nanang Ch/2009

Pada akhirnya pemberdayaan diberikan kepada komunitas yang paling miskin dan terpinggirkan secara kapasitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan baik sebagai masyarakat maupun komunitas. Transisi ini membutuhkan kesadaran sosial, partisipasi sosial yang lebih tinggi, pemanfaatan pemahaman baru atas proses ekologi perubahan dan pembaruan diri. Tekanan terbesar dalam proses pemberdayaan dalam pembangunan berkelanjutan dan pengetasan kemiskinan adalah pemberdayaan sosio-ekonomi, politik, pendidikan, teknologi dan budaya atau spiritual.

Pemberdayaan sebagai strategi pengentasan kemiskinan harus menjadi proses multidimensi dan multisegi yang memobilisasi sumberdaya dan kapasitas masyarakat. Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu yang teoritis melainkan menjadi alat untuk memutar-balikkan proses pemiskinan. Tentu saja agar pemberdayaan tersebut tepat guna dengan memotivasi pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan, dengan pelibatan secara aktif (engagement) antar berbagai aspek masyarakat; pemerintah, swasta maupun organisasi masyarakat.
 

Selasa, 22 Maret 2011

Nelayan dan Modernitas

Karagaman kelautan Indonesia cukup banyak menyimpan kekayaan melimpah pun dengan Keindahan bahari yang mempesona menjadi daya tarik Indonesia untuk layak disebut dengan Negara maritime (dengan Pulau pulau yang berbaris). Bukan kebetulan Indonesia memiliki berjuta keindahan alam seperti yang tergambar jelas, bukan juga sekedar “hadiah” dari Sang pencipta namun Indonesia memang pantas mendapatkan semuanya ini. Indonesia menjadi “surga” keindahan alam.

Akan tetapi ironis jika kita berbicara mengenai keanekaragaman yang terkandung di nusantara ini, ketika derap laju pembangunan kian berdegub kencang. Kekayaan alam yang dimiliki kurang dapat dinikmati secara menyeluruh oleh nelayan tradisional dan masyarakat pesisir bawah, hasilnya pembangunan yang terjadi masih menjadi “milik” investor yang menganggap Indonesia sebagai “surga” untuk meraup keuntungan. Alam Indnesia telah “terbeli” oleh pihak pihak yang mengatasnamakan pembangunan (yang menurut saya kurang begitu berlanjut/sustainable). Lalu bagaimana dengan masyarakat penghuni pesisir? Sebagian besar mereka (masyarakat pesisir) hanya menjadi “penonton” atas keberhasilan pembangunan kawasan pesisir, dengan kecil persentase mereka dapat menikmati hasil pembangunan tersebut.

Dok. Nanang Ch/2009
Nelayan dan kelompok sosial bawah secara tegas menjadi saksi bahwa tak selamanya pembangunan itu berbuah manis. Program pembangunan daerah oleh pemerintah lebih condong menggandeng swasta sebagai partner dari pada masyarakat lokal (yang memang seharusnya diikutsertakan). Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010 menunjukkan, jumlah nelayan di Indonesia hingga 2008 mencapai 2.240.067 nelayan. Dari jumlah tersebut, dua juta di antaranya bergantung pada perikanan tradisional (menggunakan peralatan dan pengetahuan yang serba terbatas untuk menangkap ikan). Dapat dibayangkan jika pantai dan laut terus menerus didominasi oleh sektor privat yang memiliki pengetahuan dan peralatan yang lebih modern, cepat atau lambat nelayan tradisional harus menarik perahunya ke darat dengan nasib yang tak jelas, berganti profesi ke sektor informal, seperti pekerja bangunan maupun buruh pabrik.
Dok. Nanang Ch/2009

Sektor privat dengan kekuatan modal dan teknologi yang maju mampu secara maksimal mengeksploitasi laut beserta isinya, sehingga tak jarang membawa dampak yang buruk bagi keberlangsungan ekosistem laut dari kerusakan, overfishing sampai dengan illegal fishing yang banyak dilakukan oleh nelayan dari Negara tetangga semakin mempersulit langkah nelayan tradisional Indonesia untuk mencapai harapan hidup yang lebih baik.

Fakta yang tergambar diatas menjelaskan bahwa kekayaan dan keindahan alam bahari Indonesia akan menjadi mitos belaka ketika roda pembangunan terus bergulir dan serentak membungkus landsekap keindahan pesisir itu. Negara ironi akan menjadi sebutan baru bagi Indonesia ditengah kekayaan alam yang melimpah namun masih banyak dijumpai nasib rakyatnya yang hidup jauh dari sejahtera, dan semakin memperjelas kesenjangan kelas antara pemodal dan rakyat bawah yang terpinggirkan akibat kaki pembangunan. (nch)