Senin, 27 Juni 2011

Liberalisasi Perikanan dan Nasib Nelayan

Laporan terbaru FAO (2010) menempatkan Indonesia sebagai negara produsen perikanan ketiga terbesar di dunia dengan nilai produksi 5,384 juta ton. Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa China menjadi produsen teratas (14,8 juta ton), disusul Peru (7,4 juta ton).

Senada dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga menunjukkan adanya kenaikan nilai produksi dari tahun sebelumnya, yakni sebesar Rp61,24 triliun (2010) dari Rp53,93 triliun (2009) atau naik sebesar 13,56 persen. Dalam perspektif dagang, kenaikan nilai produksi ini mestinya berimbas pada pemerataan distribusi pundi-pundi kesejahteraan nelayan. Apalagi, 75 persen kebutuhan protein nasional yang tersaji di meja-meja makan keluarga Indonesia disediakan oleh nelayan tradisional (Kiara, 2010).

Pertanyaannya, apa kendala utama tersumbatnya pipa kesejahteraan nelayan tersebut? Penulis menengarai adanya singgungan faktor domestik (peran negara dan daya saing nelayan) dengan faktor nondomestik (pusaran perdagangan bebas) yang berakibat pada rapuhnya tangga kesejahteraan nelayan.

Tanpa Negara
Di Indonesia, jumlah nelayan tangkap mencapai 2,75 juta jiwa (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2009). Dari jumlah itu, lebih dari 95 persen adalah nelayan tradisional. Lazimnya pelaku ekonomi tradisional, alat tangkap, dan modal produksi yang dipergunakan masih dalam koridor sederhana/terbatas. Dalam keterbatasan itulah mereka bertarung dengan gelombang di lautan tanpa perlindungan maksimal dari negara. Kiara mencatat sebanyak 33 jiwa nelayan meninggal dunia di laut akibat cuaca ekstrem di sepanjang Januari_April 2011. Banyaknya korban jiwa ini adalah buntut dari minusnya representasi negara.

Dalam ketiadaan pilihan, negara membiarkan nelayan mempertaruhkan jiwanya. Pada level inilah negara harus mengejawantahkan kehadirannya di 10.666 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari total sekira 524 kabupaten/kota se-Indonesia. Melihat situasi perikanan nasional saat ini, peran negara justru dipinggirkan oleh korporasi multinasional.

Hal ini ditandai dengan beberapa indikator. Pertama, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa selama triwulan I/2011, total investasi di sektor perikanan mencapai USD1,2 juta atau sekitar Rp10,28 miliar dan seluruhnya merupakan investasi asing. Kedua, data Badan Pusat Statistik (2011) menunjukkan nilai impor ikan dan produk perikanan pada Januari-Februari 2011 sebesar USD71,12 juta atau melonjak dibandingkan periode yang sama di 2010 sebesar USD32,23 juta. Negara justru berperan aktif melemahkan daya saing nelayan, yakni dengan mengabaikan amanah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Pada pasal 48 ayat (2), misalnya, terang disebut bahwa pungutan perikanan tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil. Namun ada beberapa daerah yang mengabaikannya. Misalnya yang dilakukan Kabupaten Kendal dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Retribusi TPI di Kabupaten Kendal.

Senada dengan itu, pasal 25B ayat (2) juga mewajibkan kepada pemerintah untuk mengutamakan kepentingan produksi dan pasokan di dalam negeri demi kebutuhan konsumsi nasional sebelum dipasarkan ke luar negeri. Ironisnya, ekspor digenjot secara besar-besaran, tetapi di saat bersamaan produk perikanan impor juga membanjiri pasar-pasar di dalam negeri dengan harga yang teramat murah. Negara pun berlagak merespons. Inilah zaman perdagangan bebas.

Kuasa Individu
Perdagangan bebas menuntut agar negara-negara membuka pasar mereka selebar-lebarnya untuk terjadinya perdagangan (Wibowo, 2010). Untuk mewujudkannya, negara tak lagi maju "mengatur", melainkan secara bertahap mundur teratur.
Dalam bahasa neoliberalisme, "The state must therefore use its monopoly of the means of violence to preserve the individual rights to freedom of action, expression, and choice at all costs" (Harvey, 2005). Atau dalam perkataan lain, negara cukup berperan sebagai "penjaga malam" untuk mengamankan aset-aset individual.

Kuasa individu inilah yang memaksa negara, dengan mengatasnamakan kebijakan publik, membuka partisipasi seluas-luasnya individu dalam kegiatan ekonomi yang mengatur hajat hidup banyak orang. Tak mengherankan jika asing telah menguasai permodalan kegiatan perikanan nasional. Pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas ASEANChina (ACFTA) sejak 1 Januari 2010 lalu membuktikan bahwa republik bahari pun tak sanggup menahan serbuan produk-produk perikanan China. Sungguh ironis. Hal ini berimbas pada kian sulitnya nelayan mendapatkan penghidupan yang layak.

Di Pasar Kramat Djati, Jakarta, misalnya, ditemui harga ikan kembung impor dari China berkisar Rp5.000/kg, sedangkan ikan kembung lokal dihargai Rp20.000/kg. Sementara itu, harga lele asal Malaysia hanya Rp8.000-15.000/kg, sedangkan harga lele asal Kalimantan Barat senilai Rp20.000-25.000/kg. Berkaca pada fakta ini, mustahil nelayan tradisional bisa berkompetisi. Terlebih sudah terlampau lama negara absen. Karut-marut pengelolaan perekonomian nasional ini harus dikoreksi.
Ketukan palu Mahkamah Konstitusi yang membatalkan seluruh pasal terkait hak pengusahaan perairan pesisir sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kamis (16/6), dapat menjadi awalnya. Kewarasan publik harus dijaga dan dibangunkan untuk memperkuat peran negara dan daya saing nelayan. Sikap ini pula yang dipilih Bung Hatta.

Saat tak lagi menjabat sebagai wakil presiden, Bung Hatta tetap memikirkan nasib rakyatnya. Meski mengaku sukar, ia memberikan pengertian tentang kesejahteraan, "Pada dasarnya ... (berupa) perasaan hidup yang setingkat lebih tinggi dari kebahagiaan.... Apabilaia merasa senang, tidak kurang suatu apa dalam batas yang mungkin dicapainya. Jiwanya tenteram, lahir dan batin terpelihara. Ia merasakan keadilan dalam hidupnya,tidak ada yang patut menimbulkan iri hatinya dan tidak ada gangguan dari sekitarnya. Ia terlepas dari kemiskinan yang mengancam."

By ade.lestarini, okezone.com, Updated: 6/25/2011 11:42 AM

http://news.id.msn.com/okezone/business/article.aspx?cp-documentid=4969642