Selasa, 19 April 2011

Reklamasi Ancam Hidup Nelayan

Jakarta, Kompas - Reklamasi pantai utara Jakarta menjadi ancaman bagi lingkungan hidup dan kehidupan 7.000 nelayan tradisional. Proyek pembangunan itu harus ditinjau ulang dan dilakukan analisis dampak lingkungan yang baru jika pemerintah berniat melindungi warganya.

”Sebelum ada keputusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA), reklamasi sudah berlangsung dan berdampak buruk bagi nelayan, apalagi nanti setelah putusan dilaksanakan,” kata Tiharom, Ketua Forum Komunikasi Nelayan Jakarta, Selasa (5/4). Menurut dia, reklamasi di Marunda, Jakarta Utara, 2007-2008, merusak area penangkapan ikan yang menjadi sandaran hidup 2.000 nelayan. Nelayan kehilangan akses ke laut.

Tiharom mengatakan, pengabulan PK yang memenangkan perusahaan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat luas, khususnya nelayan tradisional. ”Jika reklamasi diteruskan, hal itu akan mendorong pemiskinan terhadap masyarakat,” katanya.

Jumi Rahayu, Manajer Advokasi Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), mengatakan, sebagai salah satu pihak yang beperkara, Walhi belum mendapatkan salinan putusan PK dari MA.

Karena itu, Walhi mengirim surat ke MA untuk meminta agar keputusan PK disampaikan secara transparan. ”Kami masih dalam pendirian, reklamasi berbahaya bagi lingkungan, antara lain bisa meningkatkan potensi bencana, rob, banjir, hingga amblesnya jalan arteri (Martadinata),” katanya. Selain itu, reklamasi bisa berdampak terhadap kehidupan masyarakat, khususnya nelayan di sekitar pantai utara Jakarta. ”Reklamasi ini hanya menguntungkan sedikit kalangan swasta. Tidak ada kepentingan bagi masyarakat miskin dan nelayan,” kata Jumi Rahayu. Walhi akan mencari novum atau alat bukti baru untuk membuka kembali perkara ini.

Sementara itu, saat konferensi pers Rapat Koordinasi Nasional Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di Jakarta, Menteri LH Gusti Muhammad Hatta mengatakan belum menerima amar putusan MA itu. Karena itu, ia belum dapat menyebutkan langkah-langkah yang akan dilakukan Kementerian LH.

Amdal kedaluwarsa

Deputi Bidang Tata Lingkungan KLH, Imam Hendargo Abu Ismoyo, mengatakan, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) reklamasi pantai utara Jakarta yang disusun tahun 2003 telah kedaluwarsa.

Imam meminta warga dan LSM tidak khawatir terhadap dampak putusan MA itu. Ia menjelaskan, Pemprov DKI, Pemda Tangerang, dan Pemda Bekasi telah menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang melibatkan para ahli lingkungan. Kini sedang digarap Rancangan Tata Ruang Wilayah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Selain itu terdapat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/2008 yang mengatur pemerintah daerah wajib meminta izin Mendagri saat melakukan reklamasi pantai.

Selanjutnya, Imam menyatakan, penyelenggara proyek harus memenuhi dan menyesuaikan dengan mekanisme ini. Terakhir, penyelenggara proyek harus memiliki dokumen Amdal. Dokumen Amdal ini dinilai tim dari Kementerian LH yang melibatkan partisipasi warga setempat.
Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/2011/04/06/03315425/reklamasi.ancam.hidup.nelayan

Jumat, 01 April 2011

SHT Sebagai Implementasi Mengurangi IUU Fishing

Rusaknya laut di sebagian besar wilayah Indonesia menjadi keprihatinan nasional yang perlu segera dituntaskan atau minimal ada semacam usaha untuk meminimalisir kerusakan laut dan ekosistemnya. Pasalnya kerusakan laut ini memiliki dampak bagi kelangsungan hidup nelayan tradisional yang serta merta menggantungkan hidupnya kepada laut. Apa jadinya jika laut tak lagi memberikan hasil bagi nelayan? Tentunya semakin sulit nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sekali lagi, kerusakan alam (laut) memberikan daftar panjang kemiskinan bagi nelayan dan masyarakat pesisir bawah.

Adanya perubahan kondisi sumber daya perikanan terkait dengan maraknya praktik penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab atau dalam dunia internasional sering disebut Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU-Fishing). Banyak kerugian akibat praktik IUU Fishing ini, baik secara ekonomi maupun sosial. Dari fakta tersebut pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berinisiatif untuk mengadopsi program SHT (Sertifikasi Hasil Tangkapan) seperti yang diberlakukan oleh Uni Eropa terkait dengan praktik pencurian ikan. Sementara itu SHT mulai dilaksanakan per 1 Januari 2010, dengan sebelumnya KKP akan melakukan sosialisasi kepada seluruh stakeholder perikanan seperti, pengusaha kapal, pelaku bisnis sektoral maupun eksporter. Bahwa dengan tegas KKP bekerjasama dengan pihak berwajib akan menindak para pelaku IUU Fishing, terlebih lagi ikan hasil IUU-Fishing tidak akan dapat diekspor di pasar Uni Eropa, karena dengan tegas UE menolak setiap jenis ikan yang didapat dengan cara IUU-Fishing.

Setelah SHT diluncurkan oleh pemerintah, masih ditemui kendala yang menjadi penghambat dalam proses pelaksanaan SHT ini. Dalam praktiknya SHT masih begitu sulit dan terlalu rumit bagi pelaku perikanan tangkap di Indonesia. Maka Menteri Kalautan dan perikanan, Fadel Muhammad meluncurkan pelayanan keliling sertifikasi kepelautan perikanan dan sistem otomasi penerbitan sertifikat hasil tangkapan ikan, melalui pelayanan pengurusan sertifikasi keliling, diharapkan dapat meringankan dan mempermudah para nelayan yang memerlukan peningkatan (upgrading) seritifikat kepelautan perikanannya. Dengan kata lain, upaya ini dapat membantu nelayan terhindar dari penangkapan oleh aparat pengawas saat melakukan operasi penangkapan ikan di laut. Menurut Fadel, banyaknya regulasi atau peraturan perundangan-undangan acapkali dianggap menjadi beban masyarakat karena diinterpretasikan secara berbeda oleh berbagai instansi yang menegakkan hukum di laut.


Selain memberikan pelayanan sertifikasi kepelautan perikanan, pelayanan keliling ini juga meliputi penerbitan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) yang dibutuhkan bagi semua produk perikanan hasil tangkapan ikan di laut dari kapal-kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang akan diekspor ke negara-negara Uni Eropa. Penerbitan SHTI bertujuan untuk menjamin produk hasil tangkapan ikan Indonesia bebas dari kegiatan Illegal Unreported Unregulated (IUU) fishing. Sampai saat ini pelabuhan perikanan yang telah aktif memberikan pelayanan penerbitan SHTI sebanyak 18 Pelabuhan Perikanan termasuk PPN Sibolga. Adanya sistem otomasi SHTI akan semakin mempercepat penerbitannya. Penerapan SHTI tidak diwajikan untuk kapal kecil dengan kategori: berukuran maksimal 12 meter tanpa mesin penarik jaring atau berukuran maksimal 8 meter dengan mesin penarik jaring atau kapal berukuran kecil sama dengan 20 GT. Namun demikian, Unit Pengolah Ikan (UPI) berkewajiban mengajukan sertifikasi dengan memberikan keterangan atas kapal-kapal yang mensuplay hasil tangkapannya.

Dengan SHT semoga dapat mengurangi pencurian ikan serta meminimalisir kerusakan laut akibat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan pedoman perlindungan lingkungan. Disamping itu dengan adanya SHT tetap akan melindungi komoditi perikanan Indonesia di pasar Internasional terutama UE. Perlu disadari bahwa kekayaan laut dan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia penting untuk selalu dijaga dan dilestariakan demi keberlanjutan lingkungan dan masyarakat, terutama bagi nelayan.

Ikan Beku Impor dari Perairan RI

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kelautan dan Perikanan mensinyalir sejumlah ikan beku impor yang masuk ke Indonesia berasal dari perairan Indonesia. Ikan itu dimanipulasi seolah-olah merupakan produk dari negara pengirim.

“Modus itu terjadi sudah agak lama, dengan memanfaatkan era pasar bebas,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, di Jakarta, Senin (21/3/2011).

Hingga Senin sore, pihaknya menahan sekitar 5.300 ton ikan beku impor di sejumlah pintu masuk pelabuhan dan Bandar udara karena dinilai tidak memiliki izin impor hasil perikanan.

Penahanan itu tersebar di Pelabuhan Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Perak di Surabaya, Tanjung Mas di Semarang, dan di Bandar Udara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten.

Pihaknya memberikan waktu satu minggu kepada para importir untuk mengurus proses pemulangan (re-ekspor) ikan impor tersebut ke negara asal.

Kepala Bidang Penyidikan dan Penindakan Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Bonar Lumban Raja, mengemukakan, jumlah ikan impor yang masuk lewat pelabuhan itu setiap tahun mencapai 100.000 ton. Adapun sebagian besar ikan impor itu berasal dari China.

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/22/10293120/Ikan.Beku.Impor.dari.Perairan.RI