Jumat, 25 Maret 2011

Pemberdayaan Masyarakat : Ruang Lingkup Pembangunan dan Kemiskinan


Sering kita mendengar istilah pemberdayaan masyarakat serta praktiknya yang banyak berorientasi di pedesaan, pesisir ataupun daerah yang jauh dari akses teknologi dan informasi. Namun pertanyaan yang muncul adalah mengapa pemberdayaan masyarakat tersebut banyak dipraktikkan di daerah pinggir? Konteks Kemiskinan dan pembangunan menjadi latar belakang pemberdayaan masyarakat dilaksanakan, dan di daerah inilah (pinggir) sering dijumpai tentang cerita kemiskinan dan program pembangunan. Entah pembangunan yang menyebabkan kemiskinan atau miskinnya masyarakat akibat kurang meratanya pembangunan. Secara structural kedua konteks tersebut dapat saling berkesinambungan. 

Kemiskinan
Kemiskinan dapat dicermati dari ketidakmampuan sebuah kelompok masyarakat/keluarga memenuhi kebutuhan dasar. Kemudian kemiskinan lebih ditafsirkan sebagai suatu kondisi ketiadaan akses kelompok masyarakat tertentu pada pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya melekat di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lingkungan hidup.
Dok. Nanang Ch/2009

Konsep kemiskinan sangat dekat dengan istilah impoverishment (hal-hal yang menyebabkan seseorang atau sesuatu menjadi lebih miskin). Proses impoverisment merupakan sebuah proses aktif menghilangkan akses dan hak-hak dasar yang secara sistematik direproduksi dan diciptakan oleh sejumlah mekanisme global seperti kerusakan lingkungan hidup, kehancuran sumberdaya rakyat, inflasi, pengangguran dan politik utang luar negeri. Proses inilah yang kemudian dikenal sebagai proses pelemahan (disempowerment) ekonomi, ekologi, sosial, politik dan budaya khususnya bagi kelompok masyarakat minoritas dan marginal. Sebagai ilustrasi pola kehidupan nelayan tradisional yang semakin terpinggirkan ketika kerusakaan alam (laut) semakin merajalela maupun hancurnya sumberdaya rakyat akibat kurangnya tata kelola pembangunan. Hilangnya akses terhadap laut bagi nelayan tradisional semakin memperparah kesejahteraan kehidupan mereka.

Pembangunan
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang terencana terhadap kondisi sosial budaya dan lingkungan. Pembangunan diterapkan guna menjangkau keseimbangan pengetahuan dari seluruh anggota masyarakat yang hidup dalam suatu lingkungan hidup yang sama.

Perbedaan pemahaman terhadap lingkungan pada dasarnya disebabkan adanya perbedaan kebudayaan dan peradaban yang ada di masyarakat. Pada masyarakat yang memiliki peradaban lebih tinggi, kemungkinan akan mendominasi terhadap masyarakat lainnya termasuk pendominasian terhadap pengelolaan lingkungan yang dapat berakibat pada termarjinalisasinya kelompok-kelompok manusia lainnya dengan peradaban yang berbeda. Untuk itu, pembangunan diarahkan pada segi kemanusiaan itu sendiri sebagai salah satu model pembangunan yang berkelanjutan yaitu keberlanjutan pada kualitas manusia (human sustainability). Peningkatan kualitas hidup manusia merupakan suatu rangkaian proses pembangunan dalam rangka keseimbangan antar anggota masyarakat itu sendiri dalam memandang lingkungan hidupnya sebagai wadah dalam kehidupan bermasyarakat secara lebih luas.

Namun apakah dengan pembangunan, semata mata dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat atau justru malah sebaliknya dengan pembangunan mempercepat dan memperluas kemiskinan? Karena dirasa pembangunan global maupun regional memiliki dampak sistemik masing masing terhadap masyarakatnya.

Pemberdayaan
Konsep “pemberdayaan” (empowerment) telah mengubah konsep pembangunan dan sekaligus      strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di pedesaan maupun di pesisir. Perubahan ini sering disebut sebagai perubahan paradigma atau serangkaian perubahan mulai dari tataran konsep, teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran pelaksanaannya. Pemberdayaan menjadi konsep kunci untuk menanggapi kegagalan pelaksanaan pembangunan yang selama ini masih belum dapat dirasakan secara menyeluruh oleh masyarakat pada umumnya.

Pemberdayaan dalam kaitannya dengan pembangunan dan pengentasan kemiskinan sering dikaitkan dengan beberapa hal berikut:
  • Tata relasi kekuasaan yang demokratik, transparan dan diakui publik (good governance).
  • Transformasi ekonomi menjadi komunitas yang mandiri, berbasis pada sumberdaya lokal, dan penguatan sumberdaya manusia.
  • Partisipasi penuh atau sebuah proses yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat    (tanpa terkecuali) dalam pengembangan agenda komunitas.
  • Sebuah proses yang memungkinkan pengambilan keputusan kolektif dan dilanjutkan dengan tindakan kolektif

Dalam pengertian global tentang pemberdayaan komunitas, yang berarti adanya penguatan makna dan realitas (seperti bagaimana melibatkan para pihak yang relevan dalam suatu proses), transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (yang memberikan legitimasi pada setiap proses pengambilan keputusan). Pemikiran pembangunan alternative menekankan pada transformasi politik, ekonomi, lingkungan hidup, kelembagaan sosial serta nilai-nilai komunitas melalui pemberdayaan. Pembangunan yang bertumpu pada komunitas hendaknya berakar pada prinsip-prinsip berikut:

  1. Kedaulatan, kebebasan dan demokrasi melalui partisipasi politik yang luas
  2. Secara mandiri komunitas lokal mengontrol sumberdayanya dan berhak atas akses informasi
  3. Membangun suatu sistem nilai yang konsisten sesuai dengan perikehidupan komunitas dan hubungan mereka dengan alam dan sumberdayanya.
  4. Membangun semangat gotong royong di antara anggota komunitas untuk membangun masa depan bersama.
Dok. Nanang Ch/2009

Pada akhirnya pemberdayaan diberikan kepada komunitas yang paling miskin dan terpinggirkan secara kapasitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan baik sebagai masyarakat maupun komunitas. Transisi ini membutuhkan kesadaran sosial, partisipasi sosial yang lebih tinggi, pemanfaatan pemahaman baru atas proses ekologi perubahan dan pembaruan diri. Tekanan terbesar dalam proses pemberdayaan dalam pembangunan berkelanjutan dan pengetasan kemiskinan adalah pemberdayaan sosio-ekonomi, politik, pendidikan, teknologi dan budaya atau spiritual.

Pemberdayaan sebagai strategi pengentasan kemiskinan harus menjadi proses multidimensi dan multisegi yang memobilisasi sumberdaya dan kapasitas masyarakat. Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu yang teoritis melainkan menjadi alat untuk memutar-balikkan proses pemiskinan. Tentu saja agar pemberdayaan tersebut tepat guna dengan memotivasi pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan, dengan pelibatan secara aktif (engagement) antar berbagai aspek masyarakat; pemerintah, swasta maupun organisasi masyarakat.
 

Selasa, 22 Maret 2011

Nelayan dan Modernitas

Karagaman kelautan Indonesia cukup banyak menyimpan kekayaan melimpah pun dengan Keindahan bahari yang mempesona menjadi daya tarik Indonesia untuk layak disebut dengan Negara maritime (dengan Pulau pulau yang berbaris). Bukan kebetulan Indonesia memiliki berjuta keindahan alam seperti yang tergambar jelas, bukan juga sekedar “hadiah” dari Sang pencipta namun Indonesia memang pantas mendapatkan semuanya ini. Indonesia menjadi “surga” keindahan alam.

Akan tetapi ironis jika kita berbicara mengenai keanekaragaman yang terkandung di nusantara ini, ketika derap laju pembangunan kian berdegub kencang. Kekayaan alam yang dimiliki kurang dapat dinikmati secara menyeluruh oleh nelayan tradisional dan masyarakat pesisir bawah, hasilnya pembangunan yang terjadi masih menjadi “milik” investor yang menganggap Indonesia sebagai “surga” untuk meraup keuntungan. Alam Indnesia telah “terbeli” oleh pihak pihak yang mengatasnamakan pembangunan (yang menurut saya kurang begitu berlanjut/sustainable). Lalu bagaimana dengan masyarakat penghuni pesisir? Sebagian besar mereka (masyarakat pesisir) hanya menjadi “penonton” atas keberhasilan pembangunan kawasan pesisir, dengan kecil persentase mereka dapat menikmati hasil pembangunan tersebut.

Dok. Nanang Ch/2009
Nelayan dan kelompok sosial bawah secara tegas menjadi saksi bahwa tak selamanya pembangunan itu berbuah manis. Program pembangunan daerah oleh pemerintah lebih condong menggandeng swasta sebagai partner dari pada masyarakat lokal (yang memang seharusnya diikutsertakan). Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010 menunjukkan, jumlah nelayan di Indonesia hingga 2008 mencapai 2.240.067 nelayan. Dari jumlah tersebut, dua juta di antaranya bergantung pada perikanan tradisional (menggunakan peralatan dan pengetahuan yang serba terbatas untuk menangkap ikan). Dapat dibayangkan jika pantai dan laut terus menerus didominasi oleh sektor privat yang memiliki pengetahuan dan peralatan yang lebih modern, cepat atau lambat nelayan tradisional harus menarik perahunya ke darat dengan nasib yang tak jelas, berganti profesi ke sektor informal, seperti pekerja bangunan maupun buruh pabrik.
Dok. Nanang Ch/2009

Sektor privat dengan kekuatan modal dan teknologi yang maju mampu secara maksimal mengeksploitasi laut beserta isinya, sehingga tak jarang membawa dampak yang buruk bagi keberlangsungan ekosistem laut dari kerusakan, overfishing sampai dengan illegal fishing yang banyak dilakukan oleh nelayan dari Negara tetangga semakin mempersulit langkah nelayan tradisional Indonesia untuk mencapai harapan hidup yang lebih baik.

Fakta yang tergambar diatas menjelaskan bahwa kekayaan dan keindahan alam bahari Indonesia akan menjadi mitos belaka ketika roda pembangunan terus bergulir dan serentak membungkus landsekap keindahan pesisir itu. Negara ironi akan menjadi sebutan baru bagi Indonesia ditengah kekayaan alam yang melimpah namun masih banyak dijumpai nasib rakyatnya yang hidup jauh dari sejahtera, dan semakin memperjelas kesenjangan kelas antara pemodal dan rakyat bawah yang terpinggirkan akibat kaki pembangunan. (nch)